Melalui rilis yang dikeluarkan Rabu (11/3) lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan pernyataan kalau kasus corona yang menyebabkan COVID-19 adalah pandemi. COVID-19 sebagai pandemi, maka WHO berharap negara-negara lain bisa lebih agresif dalam mengambil tindakan pencegahan dan perawatan. Diharapkan pemerintah bisa dengan cepat melacak, mendeteksi, menguji, merawat, dan mengisolasi orang-orang yang disinyalir terinfeksi COVID-19, sehingga dapat menghentikan penyebaran, sehingga pemerintah dan tim medis terfokus pada penanganan dan perawatan mereka yang terinfeksi saja. Salah satu tindakan yang diterapkan Pemerintah untuk pencegahan ini adalah dengan menerapkan Lockdown di beberapa wilayah yang disinyalir telah menjadi pusat penyebaran (zona merah COVID-19).
 
Sejatinya ketika suatu wabah menjadi pandemi, tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja, tetapi juga pada sector lainnya seperti perekonomian, sosial, dan kestabilan suatu Negara.
 
Dampak COVID-19 terhadap sector Pertanian dan Petani dikaji oleh SLE Humbolt Berlin University melalui Penelitian Partisipatif yang melibatkan Petani di 4 Negara yaitu Indonesia, Mozambique, South Africa, and Zimbabwe. Di Indonesia SLE bekerjasama dengan JAMTANI dan mengembangkan riset dengan Judul “(Urban) Farming, Food Justice and Co-Research on Covid-19 lock-down impact on local food systems “ atau secara sederhana dapat kita pahami bahwa kajia ini mengenai Dampak Lockdown COVID-19 terhadap Sistem Pangan Lokal.
 
Riset dilakukan sebanyak 4 tahap dalam periode waktu berbeda, yaitu pada minggu ke-1, ke-2, ke-3, dan Minggu ke-4 bulan April 2020 kepada lebih dari 250 petani dampingan JAMTANI di Pulau Jawa.
 
Hasil riset berbeda di berbagai wilayah studi tetapi terdapat kesamaan dalam hal: petani memiliki akses terbatas ke pertanian dan pasar mereka, dan dipaksa untuk mengembangkan pendekatan baru untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hasil paling mencolok dari studi ini adalah bahwa para petani tidak menganggap COVID-19 sebagai ancaman terbesar bagi mata pencaharian mereka tetapi lebih merasa terancam oleh ketidaksetaraan sosial dan terutama, perubahan iklim. Sementara pengalaman lockdown global menyoroti pentingnya sistem pangan lokal, ada kebutuhan besar untuk mendukung sistem produksi agro-ekologis dan tahan perubahan iklim serta sistem pemasaran yang dipimpin petani.
 
Hasil riset juga mengungkapkan bahwa kekhawatiran petani terhadap ancaman COVID -19 cukup tinggi terutama bagi petani wanita, seperti yang disajikan dalam grafik berikut ini
 
Selain itu, hasil riset dapat dilihat pada link berikut ini.


Output lainnya berupa visualisasi pengaruh COVID-19 terhadap petani yang tetap panen meski dalam situasi sulit demi memenuhi kebutuhan pangan.
 
“Saya Ruhandi, seorang petani kecil dari Sukamanah Desa Purbahayu Kecamatan Pangandaran. Pada 9 April 2020, saya tetap memanen padi meski ditengah kekhawatiran akan pandemic covid-19 karena memproduksi pangan merupakan suatu kewajiban petani untuk kelangsungan hidup masyarakat Indonesia.”
“Saya adalah ketua Kelompok Tani Mekar Jaya, kami menggunakan 3.5 ton per hektar pupuk organik dan juga 600kg pupuk kimia. Untuk memaksimalkan hasil panen, kami juga menyemprotkan POC.”
“Tahun ini, panen tidak dilakukan berkelompok karena peraturan Social Distancing yang diterapkan Pemerintah dan juga kami diharuskan menggunakan masker.”
 
 
“Perubahan iklim menyebabkan banyak tantangan dalam melakukan budidaya padi.Musim ini, hujan dating terlambat sehingga kegiatan tanam padi pun menjadi terlambat, curah hujan yang tidak menentu mengakibatkan tingginya biaya pengolahan lahan dan lagi saya mengalami kekeringan setelah tanam mengakibatkan gulma sulit untuk dibersihkan. Pengendalian hama dan penyakit pun dirasa sangat sulit”
 
“Sehingga, kami menggunakan system pengendalian hama alami. Bunga berwarna Merah jambu berjenis Zinnia atau Tagetes atau Jagung kami gunakan sebagai tanaman barrier (pembatas) disekeliling lahan persawahan untuk mengendalikan hama seperti wereng cokelat yang menjadi musuh regular tanaman padi”
 
 
“Ini adalah kondisi di depan rumah saya. Saya menjemur padi selama 2 hari dibawah terik matahari maksimal. Harga beras pada 18 April 2020 yaitu Rp. 8.600,-.”
“Corona merupakan virus yang menakutkan, ia menyebabkan banyak kesulitan pada petani. Corona juga menyebabkan kehilangan, pergerakan yang dibatasi dan juga tidak boleh menemui rekan petani lain untuk sekedar berdiskusi mengenai permasalahan atau pengalaman kami”
“Masyarakat yang ada di kota (terutama di zona merah) sebaiknya tidak mudik terlebih dahulu untuk memutus rantai penyebaran virus”
 
“Saya harap pemerintah dapat mengelola stabilitas harga pangan terutama bahan pokok dan komoditi hortikultura.
“Pemerintah juga perlu mengawasi pergerakan masyarakat di setiap daerah, terutama daerah zona merah”
“Dibanding mendatangkan barang-barang impor, konsumsi masyarakat sebaiknya berpusat pada produk dalam negeri dan untuk masyarakat tidak mampu, penyaluran bantuan pangan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat”
 
Cerita Lengkap mengenai Pak Ruhandi juga dapat anda simak dalam artikel kami disini.